The content presented here requires JavaScript to be enabled and the latest version of the Macromedia Flash Player. If you are you using a browser with JavaScript disabled please enable it now. Otherwise, please update your version of the free Flash Player by downloading here.

Kamis, 19 Januari 2012

ANALISIS Arus Peserta Didik pada Setiap dan Antarjenjang: Peranan Sistem Pengujian


ANALISIS

Masalah yang sangat vital yang terjadi dalam pendidikan yaitu masalah pengulangan dan melanjutkan. Hal tersebut sudah mulai terjadi juga pada tingkatan SD, dan tidak di pungkiri terjadi pada tingkat SMP dan SMA.
Tetapi hal yang ditekankan penulis dalam tulisannya tersebut adalah menyangkut tingkat SMP dan SMA. Memang benar tes yang dilaksanakan antara sekolah negeri dan swasta berbeda kualitasnya. Saya yang pernah bersekolah di salah satu SMA swasta di Bandung merasakan sangat berbeda jauh dengan SMA negeri. Bahkan mungkin ada beberapa sekolah swasta yang tidak sama sekali mengadakan tes. Sebenarnya hal tersebut kurang efektif bagi saya karena pihak sekolah tidak mengetahui potensi awal calon siswa.
Tetapi saat ini dengan di adakannya UN atau SNMPTN untuk masuk ke PTN, bisa mengatasi masalah tes tersebut. Hasil tes tersebut bisa sangat akurat digunakan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi sesuai kemampuan. Tapi memang benar seperti yang diutarakan penulis, sayang sekali sekarang banyak lembaga bimbingan belajar atau les-les yang menawarkan agar anak dapat masuk ke sekolah yang dia idamkan tetapi dengan cara yang kurang tepat. Misalkan dengan memberi bocoran soal atau jawaban UN.
Hal tersebut tentu sudah tidak murni lagi dan harus segera di tindak lanjuti. Sedangkan masalah mengulang, banyak terjadi pada tingkat SD karena tingkat yang lebih tinggi peserta didiknya lebih terseleksi dari pada murid SD. Tetapi saat ini sudah banyak SD yang menerapkan sistem tes seperti membaca, psikologi, dan lainnya. Kelas yang rawan mengulang yaitu kelas 1, 2, dan 3. Mungkin hal tersebut masih sering terjadi karena dari pihak sekolah masih ada yang belum menggunakan tes tersebut dan kurang selektif dalam menilai kemampuan anak pada saat dia akan mulai bersekolah. Jadi bila kita suatu saat mengajar anak kelas rendah, kita harus benar-benar selektif agar tingkat mengulang tidak bertambah banyak dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan.

Arus Peserta Didik pada Setiap dan Antarjenjang: Peranan Sistem Pengujian


Arus Peserta Didik pada Setiap dan Antarjenjang: Peranan Sistem Pengujian
Asmawi Zainul 49
Pendahuluan
TULISAN ini dimaksudkan sebagai suatu kajian terhadap salah satu masalah pendidikan persekolahan di Indonesia, yaitu masih besarnya angka mengulang dalam satu jenjang pendidikan dan kecilnya angka melanjutkan sekolah antarjenjang. Penelahaan terhadap masalah tersebut dilihat dari salah satu aspek, yaitu peranan sistem pengujian, terutama salah satu fungsi pokok pengujian, yaitu sekolah. Bila dilihat dari segi ini, maka gejala mengulang dalam suatu tingkat tertentu dalam satu jenjang pendidikan adalah wujud dari hasil suatu evaluasi terhadap keberhasilan belajar peserta didik sebagai interprestasi terhadap hasil pengujian tertentu. Demikian pula halnya dengan  kecilnya angka melanjutkan dari satu jenjang pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, antara lain ditentukan oleh hasil seleksi penerimaan peserta didik. Karena itu maka tulisan ini meletakkan pusat perhatiannya pada sistem pengujian sebagai salah satu faktor yang berkontribusi pada arus peserta didik antartingkat dan antar jenjang tersebut.
            Arus peserta didik dalam satu jenjang atau antarjenjang tidak saja ditentukan oleh faktor keberhasilan belajar. Berbagai faktor penentu dan faktor berpengaruh lainnya tentu harus dikaji dengan teliti untuk memecahkan masalah tersebut. Tulisan singkat seperti ini tentu saja tidak dapat memusatkan perhatian pada semua faktor tersebut. Tulisan ini mencoba membahas sebagian dari peranan sistem pengujian dalam arus antar dan dalam satu jenjang pendidikan tersebut.

Arus Peserta Didik Antarjenjang
            Sistem sekolah untuk masuk ke suatu sekolah makin lama terasa makin ketat. Beberapa tahun yang lalu, untuk masuk ke SLTP dan SLTA misalnya, setiap sekolah atau setiap wilayah menentukan prosedur seleksi mereka sendiri. Demikian juga sistem seleksi murid pada sekolah negeri berbeda dari sistem seleksi penerimaan murid di sekolah yang diasuh yayasan swasta.
            Pada umumnya seleksi masuk dilakukan melalui tes tertulis keberhasilan belajar (avhievement test). Tes yang digunakan dikonstruksi secara lokal, tanpa prosedur pengujian instrumen yang baku, seperti yang diisyaratkan oleh suatu prosedur tes yang dimaksudkan untuk mengambil keputusan tentang individu. Dengan demikian setiap unit yang melakukan pengujian tersebut menentukan kriteria mereka sendiri. Tes seleksi seperti itu lebih merupakan usaha mengambil keputusan untuk menerima sejumlah pelamar dan menolak sejumlah pelamar lainnya, dengan cara eliminasi pelamar yang tidak akan diterima. Hampir tidak ada kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai pengambilan keputusan berdasarkan hasil tes seperti itu. Tes hanya sekedar membedakan mereka yang diterima dari mereka yang tidak akan diterima. Tidak ada kepastian bahwa mereka yang diterima memiliki kemampuan akademik atau kemampuan lainnya lebih dari yang tidak diterima, atau mereka yang diterima memiliki kemungkinan untuk berhasil dalam studinya lebih baik dari mereka yang tidak diterima. Tes seleksi seperti ini pada umumnya dilakukan hanya karena jumlah peminat lebih banyak dari tempat yang tersedia. Bahkan beberapa sekolah swasta tertentu mengadakan tes seleksi masuk hanya karena untuk mengadakan tes semata.
            Makin besar rasio seleksi itu, makin tinggilah kecemasan peserta tes menghadapi tes sekolah tersebut, sehingga tumbuhlah berbagai usaha bisnis untuk melayani kecemasan sosial ini. Dengan demikian, tumbuhlah bimbingan tes mulai dari tingkat yang paling awal, yaitu mempersiapkan para calon keluaran SD untuk menghadapi tes masuk SLTP, sampai ke bimbingan tes yang mempersiapkan tamatan SLTA untuk mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi. Lebih-lebih di kota besar, bisnis seperti ini berkembang dengan pesat, karena memang tingkat persaingan lebih besar di kota-kota besar tersebut. Terjadilah ironi pendidikan, yaitu dilakukan kegiatan belajar mengajar yang tidak mendidik, guna menghadapi atau sekedar mengatasi kecemasan calon peserta atau yang orang tua peserta tes, dengan pengertian bahwa tes yang dicemaskan tersebut secara akademik tidak dapat dipertanggungjawabkan.
            Dalam perkembangan yang terakhir, tes seleksi masuk yang demikian itu telah dapat diatasi, dengan menggunakan nilai (grade) hasil EBTANAS SD dan SLTP sebagai kriteria seleksi masuk ke SLTP dan SLTA. Dengan kebijakan itu, gejala kurang sehat, seperti yang dikemukakan dalam uraian di atas, dapat dikurangi bahkan dapat dihilangkan sama sekali. Dengan demikian, EBTANAS (lebih tepatnya disebut tes hasil belajar nasional) menjadi penting dalam proses pendidikan di SD sampai dengan SLTA. Terlepas dari mutu tes itu sendiri, tetapi kenyataan hanya sedikit dapat memperbaiki proses pendidikan di tingkat persekolahan.
            Tentu saja masih perlu dipersoalkan mutu tes EBTANAS itu sendiri, dalam arti mutu butir dan perangkat soalnya, serta prosedur pengelolaan skor tes sehingga menjadi sesuatu yang lebih bermakna dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai alat seleksi yang akan mengambil keputusan tentang individu. Sejauhmana tes yang dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Negara itu dapat digunakan sebagai alat ukur yang sama bagi tingkat keberhasilan belajar atau sejuahmana tes tersbut telah dapat digunakan sebagai salah satu indikator mutu pendidikan tentu harus ditelaah lebih jauh. Suatu lembaga pengujian yang professional, netral dan yang terpercaya sangat dibutuhkan untuk dikembangkan.
            Lembaga seperti Pusat Sistem Pengujian BALITBANG DEPDIKNAS akan merupakan suatu institusi yang diharapkan dapat menjalankan tugas pengujian, sehingga mampu menjadi pusat pengujian yang terpercaya dalam melayani kebutuhan pendidikan nasional. Beberapa usaha untuk membutuhkan sistem pengujian EBTANAS kelihatannya sekarang sedang diuji-coba dan dikembangkan oleh Pusisjian. Beberapa kantor wilayah telah dijadikan sebagai ajang uji coba. Dan bidang uji coba itupun masih sangat terbatas. Sejauh yang diketahui, lembaga ini belum mampu menyentuh system seleksi untuk masuk ke perguruan tinggi, dan juga belum mengembangkan sistem pengujian yang lebih luas guna memenuhi kebutuhan pendidikan secara umum.  
            Pembicaraan tentang peningkatan mutu pendidikan tentu tidak dapat dilepaskan dari kegiatan pengujian, terutama tes akhir seperti yang dilakukan dengan EBTANAS sekarang ini. Barangkali tes akhir seperti itu merupakan salah satu simpul penting bagi peningkatan motivasi belajar peserta didik. Tes akhir yang baik tentu akan dapat meningkatkan mutu keluaran pendidikan, yang sekaligus berarti dapat dijadikan alat untuk meningkatkan mutu proses belajar mengajar di sekolah.
            Walaupun pelamar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidak sebesar jumlah lulusan dari masing-masing sekolah tersebut, jumlah itu telah melibatkan  sebagian besar (73,6% untuk SD) lulusan tersebut (lihat tabel 1). Suatu gejala yang kelihatannya agak menyimpang ialah jumlah pendaftar untuk masuk ke SLTA pada tahun 1990 melebihi jumlah lulusan SLTP pada tahun yang sama. Ini belum berarti bahwa seluruh lulusan SLTP pada tahun yang sama mendaftar untuk masuk ke SLTA. Tentu saja sebagian dari mereka adalah mereka yang tidak dapat masuk ke SLTA pada tahun-tahun sebelumnya. Kenyataan ini telah memperbesar keyakinan bahwa tes seleksi yang baik akan sangat banyak membantu usaha peningkatan motivasi dan mutu pendidikan secara cukup berarti. Untuk pelamar SLTP jumlah itu meliputi 2.470.194 lulusan, dan untuk SLTA meliputi jumlah 1.930.344 lulusan (1990), suatu jumlah yang sangat besar. Karena itu suatu sistem pengujian yang sangat benar-benar dapat meningkatkan motivasi belajar mengajar akan sangat besar artinya bagi usaha peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan demikian secara kebijakan dapat dikatakan bahwa pembenahan sistem pengujian dan program peningkatan kemampuan pengujian tingkat persekolahan itu akan sangat mendukung usaha peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenjang dan jenis pendidikan. Tabel 1 berikut ini akan dapat memberikan gambaran umum tentang keterlibatan sistem pengajaran dalam rangka arus peserta didik antarjenjang pendidikan untuk tahun 1990.








Tabel 1
Jumlah murid, mengulang, lulusan, murid baru dan pendaftar
Berdasarkan jenjang sekolah 1989/1990
Jenjang Sekolah
Jumlah Murid
Mengulang
Lulusan
Murid
Pendaftar Baru
SD
Negeri
Swasta
Jumlah

SLTP
Negeri
Swasta
Jumlah

SLTA
Negeri
Swasta
Jumlah

24.362.714
  1.895.876
26.528.590


3.518.798
2.333.709
5.852.507


1.579.697
2.457.187
4.030.167

2.439.184
   163.399
2.455.523


-     42.566
-     25.946
-     68.502


-     14.603
-     24.515
-     39.118

3.117.086
   238.647
3.355.733


1.032.220
   769.880
1.802.100


   446.810
   635.630
1.082.440

4.056.171
   322.048
4.376.219


   124.890
   284.158
2.009.048


   545.706
   855.917
1.401.633






1.588.849
   881.345
2.470.194


   916.279
1.014.071
1.930.344

Sumber Pusat Informasi BALITBANG DIKBUD Rangkuman Statistik Persekolahan 1990

                Tabel 1 data memperlihatkan beberapa kecenderungan yang sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam. Misalnya secara jelas kelihatan kecenderungan bahwa swasta makin besar dalam sistem pendidikan kita pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ini berarti pengembangan sistem pengujian pendidikan nasional secara nyata tidak dapat dilepaskan dari pengikutsertaan unsur swasta di dalamnya. Hal ini kiranya merupakan keharusan, bila dilihat dari pelaksanaan UUSPN No. 2 Tahun 1989.
            Kecenderungan kedua yang nyata terlihat ialah makin tinggi jenjang pendidikan, makin besar proporsi lulusan yang ingin melanjutkan pendidikannya. Hal ini dilihat dari sistem pengujian mengandung implikasi adanya keharusan untuk lebih menitikberatkan perhatian pada sistem pengujian untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi (bila harus memilih prioritas). Justru yang terjadi selama ini ialah kegiatan pengujian secara nasional diusahakan bagi jenjang pendidikan yang lebih rendah. Tentu saja kebijakan seperti ini dapat mendukung pemerataan pendidikan, tetapi kurang dapat mendukung peningkatan mutu dalam usaha pengembangan dumber daya manusia untuk menghadapi masyarakat yang lebih industrial pada masa yang akan dating.
            Tabel ini juga memperlihatkan berbagai aspek arus peserta didik dalam satu jenjang pendidikan.

Arus Peserta Didik dalam Satu Jenjang Pendidikan
            Masalah pokok yang dihadapi dalam arus didik dalam satu jenjang pendidikan ialah mengulang dan drop-out. Masalah mengulang kelas adalah masalah yang secara langsung berhubungan dengan sistem pengujian. Masalah drop-out secara langsung atau tidak bersangkutan pula dengan sistem pengujian. Bila diperhatikan table 1 di atas, proporsi mengulang secara akumulatif adalah sebesar 9.26% untuk SD, 1.17% untuk SLTP, dan 0.9% untuk SLTA. Bila dilihat antara sekolah negeri dengan sekolah swasta maka untuk SD negeri proporsi mengulang tersebut adalah 0,99%, untuk SD swasta 0,86%, untuk SLTP negeri sebesar 1,21% untuk SLTP swasta 1,11%, untuk SLTA negeri angka mengulang tersebut sebesar 0,93%, dan untuk SLTA swasta sebesar 0,01%. Jelas kelihatan bahwa ada kecenderungan mengulang yang lebih tinggi pada SD, yang mengecil pada jenjang sekolah yang lebih tinggi (SLTP dan SLTA). Selain itu juga kecenderungan yang jelas kelihatan, bahwa di sekolah swasta angka mengulang kelas tersebut lebih kecil dari pada sekolah negeri.
            Kedua kecenderungan ini telah dapat secara langsung dihubungkan dengan sistem pengujian yang dimiliki oleh sekolah yang bersangkutan. Hubungan tersebut dapat dilihat sebagai kebijakan pengujian yang berbeda. Pada jenjang sekolah yang lebih tinggi para peserta didik sudah lebih terseleksi dari pada para peserta didik yang di SD. Karena itu, kemampuan mereka juga sudah lebih memungkinkan untuk kekurangan masalah mengulang. Sedangkan pada sekolah swasta masalah mengulang kelas pada umumnya menentukan keputusan untuk kenaikan kelas. Pertimbangan tersebut acapkali tidak sepenuhnya merupakan pertimbangan akademik.
            Berdasarkan uraian di atas, jelaslah masalah pokok mengulang kelas lebih besar dihadapi oleh SD. Karena itu perhatian lebih mendalam harus diletakkan pada jenjang ini. Mengulang kelas pada tingkat SD menjadi persoalan pada kelas yang lebih rendah, yaitu kelas 1, 2, 3. Bila telah melewati kelas 3, ada kecenderungan gejala tinggal kelas sudah mulai berkurang. Masalah ini mungkin lebih dapat dijelaskan dari segi sosial ekonomi ketimbang dari segi gejala pengujian.

ANALISIS Rekonstruksi kurikulum yang Menunjang Lembaga Pendidikan Sebagai Pusat Pembudayaan Kemampuan, Nilai dan Sikap


ANALISIS

Tulisan ini menggambarkan bagaimana keadaan pendidikan kita dari zaman Indonesia merdeka sampai dengan kira-kira tahun 1890 menurut isi dari tulisan tersebut. Penulis pantas saja mempertanyakan “ apa yang salah dengan pendidikan kita? ”, karena saya sendiri yang sudah mengenyam bangku pendidikan selama kurang lebih 14 tahun merasa belum ‘sempurna’ sistem pendidikan di negara ini.
Lembaga pendidikan mempunyai peran sebagai pusat pembudayaan kemampuan nilai dan sikap agar cita-cita bangsa ini bisa terwujud sesuai dengan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Banyak faktor menurut saya yang mengakibatkan pendidikan belum berjalan optimal. Faktor yang penulis sebutkan dalam tulisan tersebut bisa saya setujui karena sebagian besar memang faktor itulah yang bisa menghambat, diantaranya rendahnya minat membaca, kurangnya fasilitas yang diberikan untuk keberlangsungan proses pendidikan, sistem kurikulum dan evaluasi yang belum relevan, dan lain sebagainya.
Sekarang pendidikan Indonesia sudah menganut kurikulum KBK yang semula KTSP. Perubahan kurikulum zaman sekarang sudah lumayan membawa dampak yang baik bagi pendidikan. Akan tetapi lebih baik jika kurikulum tersebut selalu di awasi jalan pelaksanaannya dan harus sesuai dengan lembaga pendidikan.
Sistem evaluasi pun harus benar-benar konkrit dalam artian konkrit mengevaluasi setiap aspek kognitif, afektif, psikomotorik, dan tidak hanya mengevaluasi satu aspek saja. Memang jika dibandingkan dengan pendidikan di Amerika atau Eropa, pendidikan kita masih tertinggal jauh. Akan tetapi kita bisa mengejar ketertinggalan tersebut dengan terus memperbaiki dan berinovasi baik dalam hal kurikulum, sistem evaluasi, fasilitas pendukung, maupun kesejahteraan pendidiknya. Kita sebagai calon pendidik harus mempersiapkan hal tersebut mulai dari sekarang agar anak didik yang kita bina bisa menjadi warga Negara Indonesia yang sesuai dengan harapan bangsa.