The content presented here requires JavaScript to be enabled and the latest version of the Macromedia Flash Player. If you are you using a browser with JavaScript disabled please enable it now. Otherwise, please update your version of the free Flash Player by downloading here.

Kamis, 19 Januari 2012

Rekonstruksi kurikulum yang Menunjang Lembaga Pendidikan Sebagai Pusat Pembudayaan Kemampuan, Nilai dan Sikap


Rekonstruksi kurikulum yang Menunjang Lembaga Pendidikan Sebagai Pusat Pembudayaan Kemampuan, Nilai dan Sikap
Soedijarto 48

SEJAK terjadinya krisis multidimensi yang bermula dari terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, selaku pelajar pendidikan pada tahun 1998 kami mengajukan pertanyaan dasar ‘’Apa yang salah dalam pendidikan sehingga setelah lebih dari setengah abad merdeka pendidikan nasional belum mampu berfungsi menunjang tumbuhnya bangsa yang cerdas, yang demokratis, menjunjung tinggi HAM dan memajukan kesejahteraan masyarakat? Dua tahun telah berlalu sejak saya melalui forum bedah buku ISPI dan Seminar Dewan Riset Nasional (1998) mengajukan pertanyaan dasar tersebut. Namun Indonesia tampak berbeda dengan negara seperti Amerika Serikat yang pada tahun 1957 ketertinggalan dari Uni Soviet dalam teknologi pesawat ruang angkasa (SPUTNIK), pertanyaan seorang senator (John F. Kennedy) “Winat’s wrong with American classroom“ sehingga Amerika Serikat telah tertinggal dari Uni Soviet telah berdampak terhadap lahirnya berbagai gerakan pembaharuan pendidikan, terutama “Science” dan “Mathematics“ serta pendidikan guru yang yang membawa pengaruh terhadap jayanya Amerika Serikat dibidang IPTEK dan ekonomi sampai sekarang.
            Di Indonesia dampak pertanyaan tersebut hampir tidak ada bahkan tidak ada yang mendengarkan apalagi membaca rasionalnya. Tetapi sebagai seorang pelajar pendidikan dan politik nasional dan global, saya tidak berkecil hati. Jangankan suara seorang warga negara, pandangan yang secara resmi tertuang dalam Garis Besar Haluan Negara dari sebuah negara yang oleh penjelasan UUD 1945 dipandang sebagai perwujudan perdaulatan rakyat pun tampak tidak diperdulikan, bahkan dalam sidang tahunan MPR tidak ada satu fraksi pun yang mempertanyakan mengapa pemerintah tidak tampak dengan sungguh-sungguh berupaya untuk melaksanakan 7 (tujuh) butir pokok arahan GBHN 1999 tentang pendidikan nasional. Karena itu pertanyaan selanjutnya dari saya adalah  “ what’s wrong with this nation?”
            Atas dasar pemahaman kurikulum sebagai sarana strategis bagi dapat berlangsungnya proses pembelajaran yang bermakna sebagai proses pembudayaan dan sosialisasi kemampuan, nilai, dan sikap tulisan ini akan disajikan dalam sistematika berikut. (1) pendidikan sebagai sarana bagi proses transfomasi budaya menuju bangsa Indonesia yang maju, demokratis, berkeadilan sosial, menegakkan supremasi hukum, menjunjung tinggi HAM; (2) lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan kemampuan, nilai, dan sikap; (3) kurikulum sebagai unsur strategis dari lembaga pendidikan yang menentukan relevansi dan mutu pendidikan; (4) karakteristik kurikulum yang relevan; sistem evaluasi sebagai unsur penunjang bagi dapat terlaksananya kurikulum; dan infrastruktur yang diperlukan bagi lembaga pendidikan untuk dapat berfungsi sebagai pusat pembudayaan, dan (5) beberapa kesimpulan dan sarana.

Pendidikan sebagai sarana bagi proses transformasi budaya menuju peradaban Negara kebangsaan Indonesia.
            Tidak semua orang mempertanyakan mengapa para pendiri Republik dalam pembukaan UUD 1945 merumuskan sebagai salah satu tujuan mendirikan negara bangsa yang merdeka adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa“. Dan mengapa pula para pendiri Republik merumuskan pada 31 ayat (2) dan pasal 32 yaitu “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu system pengajaran nasional“ (pasal 31 ayat (2), dan “pemerintah memajukan kebudayaan nasional”.  Sebagai pelajaran pendidikan dan politik serta sebagai pembaca sejarah saya termasuk dari tidak banyak orang yang mempertanyakan ini. Bagi saya tiga rumusan ini merupakan satu rangkaian yang berakar dari pemahaman para pendiri Republik akan sejarah dan tingkat perkembangan peradaban masyarakat bangsanya serta dari visi para pendiri Republik akan kedudukan negara bangsa Indonesia di abad-abad selanjutnya dalam percaturan global.
            Walaupun  sejarah mencatat bahwa nusantara telah mengalami dua kerajaan besar, yaitu Sriwijaya sekitar abad ke 8-11, dan Majapahit sekitar abad ke 13-15, dua kerajaan besar nusantara yang dalam perjuangan kemerdekaan oleh para pemimpin pergerakan dijadikan landasan legitimasi bahwa Negara Republik Indonesia bukan pewaris Hindia Belanda melainkan pewaris kerajaan besar nusantara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Namun negara kebangsaan Indonesia yang merdeka pada tahun 1945 dalam wujud Negara Persatuan  Republik Indonesia adalah suatu sistem kenegaraan modern yang belum ada contohnya sebelum proklamasi 17 Agustus 1945.
            Perjalanan sejarah kerajaan nusantara sejak abad ke -7 sampai dapat dikuasai sepenuhnya oleh kaum kolonialis Belanda pada permulaan abad ke-20 menunjukkan betapa tradisi pertentangan dalam tubuh dinasti kerajaan dan tiadanya kesetiaan pada ketentuan yang disepakati bersama telah menjadikan kaum penjajahan dengan mudah menggunakan politik devide et impera untuk menguasai seluruh nusantara. Frekuensi perpindahan pusat–pusat kekuasaan yang demikian tinggi menunjukkan betapa salah satu ciri pokok dari perjalanan sejarah kerajaan nusantara adalah instabilitas politik. Latar belakang sejarah ini tampaknya yang melatarbelakangi terumuskannya cirri-ciri rasional pada pendiri Republik sebagai tertuang dalam pembukaan UUD 1945 untuk membangun negara kebangsaan yang stabil, demokratis, berkeadilan, berketuhanan, maju, makmur dan sejahtera. Satu tatanan negara modern yang belum pernah ada dalam sejarah Indonesia bahkan belum ada contohnya di dunia.
            Bangunan negara kebangsaan Indonesia yang modern ini lahir di tengah dunia yang dalam berbagai bidang kehidupan modern yang menguasai tatahubungan internasional, sejak akhir abad ke-19.
            Tampaknya para pendiri Republik sadar bahwa ketertinggalan dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, pada saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, hanya dapat diatasi melalui proses transformasi budaya, dari budaya feodal ke budaya demokrasi, dari budaya tradisional ke budaya modern dari budaya masyarakat terjajah menuju budaya masyarakat negara merdeka, dari budaya nepotis ke budaya meritokrasi. Untuk itu pendiri Republik memasukkan kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa“ , yaitu suatu upaya agar bangsa ini tidak mengulang sejarah kelam di masa lalu yang penuh tentangan dan terisolasi dari perkembangan peradaban dunia yang sudah berjalan lebih dari 4(empat) abad yang lalu. Untuk itulah tampaknya mengapa pendiri Republik menetapkan pasal 31 ayat (2) dan pasal 32 tentang perlunya menyelenggarakan suatu sistem pengajar nasional dan memajukan kebudayaan nasional.
            Lima puluh lima tahun setelah Indonesia merdeka kita menyaksikan betapa cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa belum mulai mewujud. Rasa kesatuan dan kesatuan nasional belum menjiwai seluruh lapisan masyarakat sebagai terbukti dengan terjadinya berbagai  kerusuhan. Kemudian mengelola sumberdaya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi, menghasilkan produksi yang mampu bersaing di pasar global, dan kemampuan mengelola perdagangan ternyata belum tampak sebagai dari sukarnya kita mengatasi krisis ekonomi, etika dan budaya politik demokrasi belum juga mantap seperti terwujud dari sukarnya kita mencapai rekonsialisasi nasional. Kesemuanya itu bagi saya sebagai seorang pelajar pendidikan harus dikembalikan kepada pertanyaan dasar “apa yang salah dalam pendidikan? Jawabannya adalah karena pendidikan nasional belum dapat melaksanakan fungsi konstitusionalnya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional melalui pembudayaan kemampuan, nilai, dan sikap dengan menjadikan lembaga pendidikan sebagai pusatnya. Pertanyaannya adalah “bagaimana merancang proses pembelajaran sebagai proses pembudayaan?”

Lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan kemampuan, nilai, dan sikap
            Kedudukan dan peranan lembaga pendidikan khususnya sekolah, pada hakikatnya sama di negara mana pun, yaitu generasi muda untuk hidup dalam masyarakatnya setelah dewasa tanpa kesulitan baik secara ekonomi, politik, sosial, keagamaan, dan budaya. Namun karena ada perbedaan antara negara yang satu dan negara yang lain dalam proses pembentukan dan pembangunan negara bangsanya, terdapat perbedaan antara satu dan yang lainnya dalam hal sumber nilai dan proses yang ditempuh dalam kaitan dengan sekolah untuk melaksanakan peranannya. Di negara yang sistem sosial budayanya telah mantap peranan sekolah utamanya adalah mengalihkan nilai budaya kepada generasi muda untuk dapat menjadi anggota masyarakat yang memenuhi harapan. Namun demikian disadari dalam masyarakat yang terus berkembang dan berubah fungsi pengalihan nilai pun tidak dapat bersifat statis melainkan dinamis dan kreatif. Dalam masyarakat negara yang berada dalam proses perubahan revolusioner, peranan lembaga pendidikan bukan hanya mengalihkan nilai-nilai baru dalam diri setiap peserta didik. Dari sini kita mengamati mengapa peranan lembaga pendidikan, terutama sekolah, di Amerika Serikat tidak seluruhnya sama dengan peranan pendidikan di Eropa daratan, seperti di Jerman. Kita saksikan betapa sekolah di Amerika Serikat berlangsung dari pagi sampai sore, sedangkan di Jerman dari pagi sampai siang hari. Pada tingkat Universitas, Amerika Serikat mengenal sistem kampus dalam arti yang sesungguhnya sehingga oleh Clark Kerr disebut sebagai “City of Intelect” sedangkan di Eropa daratan universitas adalah serangkaian gedung diantara bangunan gedung kota lainnya (Perhatikan kampus UC Berkeley dan Cornell university, di Amerika Serikat, dan Technical University Berlin dan Universitas Bonn di Jerman).
            Di Amerika Serikat, sekolah dan kampus dalam bahasa Alexander Inkeles berfungsi melakukan proses sosialisasi kemampuan dan nilai, sehingga dalam bahasa Talcot Parsons ”Clasroom as a sosial system” dalam sejarahnya pendidikan Amerika Serikat telah berhasil meng-Amerika-kan warga masyarakat Amerika Serikat dari berbagai ras, suku, dan Agama. Berbeda dengan Jerman, sebelum masuk sekolah masing-masing anak sudah Jerman, karena menurut pengamatan saya, nilai budaya Jerman ada di semua tempat, bukan hanya di sekolah. Atas dasar itu dalam kaitan perspektif perbandingan dan memahami hakikat proklamasi dan amanat pembukaan UUD 1945 sebagai upaya transformasi budaya, memang fungsi lembaga pendidikan, terutama sekolah di Indonesia adalah melakukan proses sosialisasi dan pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap. Karena itu pula mengapa butir ketiga arahan GBHN 1999 menekankan “pemberdayaan lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan”.   
            Dalam pandangan penulis peranan ini belum dapat dijalankan karena kendala fundamental yang akan diulas pada bagian akhir tulisan ini. Sedangkan yang akan diulas pada bagian ini adalah gejala sebagai indikator perlu diberdayakannya lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan dan indikator belum dapat berfungsinya lembaga pendidikan melakukan peranan sebagai pusat pembudayaan.
            Tentang gejala yang mendesak perlunya pembudayaan lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan kemampuan, nilai dan sikap antara lain dapat ditunjukan gejala tersebut.
            Di Jawa Tengah setelah memiliki lima universitas negeri dan banyak universitas swasta, produktivitas perkebunan tebu menurun sekitar 50% dibandingkan dengan produktivitas tahun 1938. Gejala ini menunjukkan betapa terdapat jurang antara studi teknologi pertanian dan bioteknologi dengan kenyataan kemampuan masyarakat tempat universitas tersebut berada. Dapat diduga para mahasiswa Fakultas Pertanian tidak berubah kemampuan dan sikap ilmiahnya untuk menggunakan ilmu dan teknologi yang dipelajari untuk memecahkan masalah-masalahnya. “Land-gant movement” pada tahun 1862 oleh presiden Lincoln dimaksudkan untuk mewujudkan universitas sebagai pengembangan teknologi untuk mempercepat proses transformasi teknologi dan untuk peningkatan produktivitas pertanian dan manifaktur. Di Indonesia upaya itu sebenarnya telah dilakukan pada tahun 1960-an dengan mendirikan satu universitas negeri untuk setiap propinsi dan dengan doktrin Tri Dharma perguruan tingginya. Pertanyaannya “apa yang telah terjadi dengan sistem universitas kita?
            Gejala yang menarik untuk dicatat adalah adanya masyarakat yang orang tuanya menolak anak-anaknya diberi imunisasi polio, yang puluhan tahun diberi penyuluhan tentang upaya mengatasi demam berdarah tetapi belum juga berhasil, padahal dalam statistik tercatat sekitar 80% telah bebas buta aksara dan partisipasi SD sekitar 90%. Kita juga menyaksikan jurang antara cita-cita dan kenyataan dalam bidang penegakan hukum, politik, ekonomi bahkan dalam kehidupan beragama. Lima puluh lima tahun setelah Indonesia merdeka segala cita-cita masih tetap berstatus cita-cita dan belum menjadi realita. Gejala ini yang mendorong kita, seperti kenyataan “jaman Wild-wild west dan diskriminasi rasial dan berbagai kepincangan sosial di Amerika Serikat”, untuk mengajak seluruh masyarakat bangsa melalui GBHN 1999, untuk memberdayakan lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan.
            Gejala sebagai indikator belum dapat berfungsinya lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan dapat diilustrasikan sebagai berikut. Sekolah kita pada umumnya belum mampu menjadi peserta didik menyenangi belajar dan gemar membaca. Tidak lain karena lembaga pendidikan tidak pada umumnya baru dapat menjadi tempat peserta didik belajar untuk sampai tahap memahami untuk selanjutnya dapat dikomunikasikan kembali apa yang dipahaminya baik secara lisan maupun tertulis dalam menjawab pertanyaan ujian, dan ini pun ada umumnya terbatas kepada peserta didik pada kemampuan akademik di atas rata-rata. Proses pembelajaran yang belum sampai dapat menjadikan peserta didik pada sampai tahap memahami makna dari apa yang dipelajari bagi kelangsungan hidupnya dan bagi kepentingan perkembangan pribadinya dan/ atau bagi kepentingan belajar selanjutnya. Padahal pasal 13 ayat 1 UUD No.2 tahun 1989 menekankan bahwa fungsi pendidikan dasar adalah menyiapkan anggota masyarakat yang memiliki “kemampuan dan sikap serta kemampuan dan keterampilan untuk hidup dalam masyarakat dan yang memenuhi syarat dipersiapkan untuk melanjutkan kependidikan menengah”. Dan untuk pendidikan menengah pasal 15 ayat (2) menekankan bahwa lulusan SLTA “mempunyai kemampuan hubungan timbal balik dengan lingkungan alam, sosial dan budaya antara mengembangkan dirinya di dunia kerja dan/atau pendidikan tinggi”. Dan untuk pendidikan tinggi ditekankan “kemampuan menerapkan, mengembangkan, dan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau sendiri.
            Praktik pendidikan yang tekanannya pada mencatat dan menghapal dan kurang sampai kepada pemahaman yang mendalam dan penghayatan akan makna dari materi pelajaran yang dipelajarinya tidak memungkinkan proses sosialisasi dan kebudayaan kemampuan, nilai dan sikap. Praktek yang sukar diubah karena terlalu banyak jam pelajaran/jam perkuliahan per-minggu, oleh besarnya rasio pengajar dan peserta didik, terbatasnya fasilitas pendidikan, baik ruang kelas, ruang rekreasi dan olahraga, perpustakaan, laboratorium, kebun botani, serta rendahnya penghasilan tenaga pengajar sehingga tidak memungkinkan dapat berfungsinya lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan. Kondisi infrastruktur pendidikan yang serba kekurangan (bukan hanya terbatas) ditambah dengan tidak ditempatkannya evaluasi sebagai alat pendidikan dan alat penguatan motivasi, menjadikan lembaga pendidikan kita bertambah tidak mampu berperan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kurikulum sebagai unsur strategis dari sistem pendidikan yang relevan dengan dapat berfungsinya lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan
            Pembicaraan dan usaha pembaharuan kurikulum pada umumnya bergerak pada dua tingkat, yaitu tingkat penyusunan struktur program, yaitu penentuan jenis mata pelajaran / kuliah (dalam istilah saya pada tahun 1988 tingkat kedua). Dan tingkat penyusunan Garis Besar Program Pengajaran  (GBPP) yang menentukan pokok-pokok bahasan untuk setiap mata pelajaran. Karena itu wancananya bergerak tentang pendapatnya muatan kurikulum, baik dilihat dari jumlah mata pelajaran/kuliah yang harus diikuti /ditempuh peserta didik atau muatan (pokok bahasan) dalam setiap mata pelajaran /mata kuliah. Padahal masalah utama dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum adalah (1) sampai berapa jauh program kurikulum yang dirancang benar-benar dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan sebagai wujud dari peranan lembaga pendidikan sebagai pusat lembaga pembudayaan dan (2) sampai berapa jauh materi pelajaran yang dirancang sebagai objek belajar benar-benar dapat memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang intensif sehingga dapat menjadi wahana transformasi atau proses sosialisasi dari pembudayaan berbagai kemampuan nilai dan sikap. Saya ragu bahwa proses perubahan kurikulum dari kurikulum tahun 1975 menjadi kurikulum tahun 1984, dari kurikulum 1984 menjadi kurikulum 1994 dan upaya pembaharuan yang sedang dirancang terangkat dari upaya menjawab dua pertanyaan pokok tersebut. Pada tahun 1988 dalam tulisan yang sudah dalam buku Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan Bangsa  (Hal. 135-174) saya berpendapat paling tidak ada lima tingkatan kurikulum, yaitu pertama, tingkat rumusan tujuan pendidikan yang menggambarkan berbagai kemampuan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang harus dikuasai oleh peserta didik pada suatu jenjang pendidikan; kedua, tingkat kurikulum sebagai struktur program yang menggambarkan bidang pelajaran dan alokasi waktunya; ketiga, kurikulum sebagai garis besar program pengajaran; keempat, kurikulum yang sudah dikembangkan dalam deskripsi mata pelajaran secara lebih rinci dan ditulis dalam buku pelajaran; dan kelima, kurikulum yang telah mewujud dalam bentuk proses pembelajaran yang dirancang guru dan dihayati oleh para peserta didik.
            Seperti disinggung di depan pembahasan kurikulum hanya bergerak pada tingkat kedua dan ketiga, dan bahkan ada yang langsung ke tahap keempat tanpa dikaitkan dengan kedudukan strategisnya untuk mencapai tujuan pendidikan. Dan sangat jarang pembahasan kurikulum berangkat dari hasil observasi proses pembelajaran di tingkat kelas yang hakikatnya merupakan wujud akhir dari kurikulum yang dirancang.
            Atas dasar pertimbangan di atas saya memandang bahwa agar kurikulum hasil pembaharuan benar-benar dapat menjadi tumpuan bagi dapat terjadinya proses pembelajaran yang mampu menunjang tercapainya tujuan pendidikan yang hakikatnya merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, kami mengajukan langkah-langkah dan pendekatan berikut.
1.  Rumusan tujuan pendidikan pada tingkat institusional (jenjang pendidikan), sebagai tolak ukur standar pendidikan nasional
Sesungguhnya berbagai ketentuan tentang tujuan pendidikan nasional dan fungsi pendidikan nasional untuk setiap jenjang pendidikan telah dirumuskan dalam UU No. 2 tahun 1989, GBHN 1983, 1988, dan seterusnya, tetapi selama ini rumusan-rumusan tersebut tidak tampak dijadikan titik berangkat untuk melakukan usaha pembaharuan kurikulum. Di negara semaju Amerika pun ada terbitan yang ditanda tangani oleh presiden Amerika Serikat yang memberikan rumusan tentang kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diharapkan dikuasai peserta didik pada setiap jenjang pendidikan, kecuali perguruan tinggi. Dari sini dapat diperkembangkan standar pendidikan nasional yang selanjutnya dijadikan titik berangkat bagi penyusunan dan pengembangan kurikulum pada tingkat kedua (struktur program) dan seterusnya berpengaruh kepada perencanaan proses pembelajaran pada tingkat kelas.
Untuk itu bila kita akan melakukan rekonstruksi kurikulum, pertama harus dirumuskan tujuan inrtitusional setiap jenis dan jenjang pendidikan yang menggambarkan sikap dan kemampuan pengetahuan serta keterampilan yang harus dikuasai peserta didik. Seperti telah disinggung di depan sumber  bagi perumusan ini terdapat dalam UU No. 2 tahun 1989, arah GBHN serta gambaran tentang perkembangan masyarakat pada saat peserta didik menyelesaikan program pendidikan pada jenjang tertentu.
Untuk pendidikan dasar pasal 13 ayat (1) UU No. 2 tahun 1989 tertulis “mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah”.
Dari ketentuan dasar tersebut dapat dirumuskan tujuan pendidikan pada tingkat institusional barang dari upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut.
a.       Kemampuan dan sikap apakah yang harus dikuasai oleh peserta didik setelah menyelesaikan pendidikan dasar agar dapat hidup dalam masyarakat?
b.      Pengetahuan dan keterampilan apakah yang harus dikuasai oleh peserta didik setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya agar dapat hidup dalam masyarakat?
c.       Pengetahuan, sikap, dan pengetahuan serta keterampilan apakah yang diperlukan bagi mereka yang memenuhi syarat untuk dapat melanjutkan pendidikan menengah?
Menjawab pertanyaan pertama dan ke dua secara memadai terlebih dahulu harus dilakukan secara analisis terhadap hal yang berkaitan dengan cirri-ciri seorang warga negara yang dapat hidup dalam masyarakat. Untuk itu terlebih dahulu perlu diperoleh gambaran tentang karakteristik dari masyarakat yang akan dimasuki peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya.
Dengan mempelajari “World Declaration on Education for all” tahun 1990 kita dapat dibantu untuk memberi isi kepada pertanyaan yang berkaitan dengan “karakteristik manusia terdidik yang dapat hidup dalam masyarakatnya”, yaitu:
a.       Dapat bertahan hidup “survive”;
b.      Memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang bermanfaat;
c.       Dapat berpartisipasi secara aktif dalam masyarakatnya; dan
d.      Dapat mengambil keputusan yang berdasarkan informasi.
Sedangkan untuk menjawab pertanyaan ketiga dari dokumen yang sama yang bertema “The basic learning needs” ada dua kebutuhan belajar yang terkait dengan kependidikan lanjutan, yaitu:
e.       Dapat mengembangkan dirinya secara optimal; dan
f.       Dapat belajar terus.
Dengan berangkat dari enam kebutuhan dasar belajar tersebut dan pengalaman tentang karakteristik kehidupan masyarakat yang akan dimasuki lulusan pendidikan dasar kita akan dapat secara memadai menjawab tiga pertanyaan pokok di atas. Jawaban atas pertanyaan tersebut merupakan bagi dapat dirumuskan tujuan kelembagaan yang merupakan dasar bagi bagian penyusunan kurikulum.
Model perumusan tujuan institusional, yang merupakan titik awal dari dilakukannya perencanaan kurikulum ini, secara ekstrapolatif dapat digunakan untuk merumuskan tujuan institusional pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Untuk pendidikan menengah, misalnya, kita perlu secara sungguh-sungguh membahas makna istilah “kemampuan mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar” dan “istilah dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi” sebagaimana yang tertulis dalam pasal 15 ayat (1) UU No. 2 tahun 1989. Dan kita pun tidak pernah berusaha untuk menggunakan ketentuan tersebut untuk dijadikan ukuran keberhasilan pendidikan menengah kita. Berbagai krisis yang kita hadapi merupakan pendidikan nyata bahwa pendidikan kita gagal melaksanakan fungsi yang dibebankan kepadanya.
Demikian juga dengan pendidikan tinggi. Penyusunan kurikulum tidak lebih dari menambah dan/atau meniadakan mata kuliah, dan saya meragukan apakah pesan pasal 16 ayat (1) yang berbunyi “menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian”, telah ditelaah sebagai landasan perencanaan kurikulum. Sinyalemen yang saya ajukan tentang rendahnya produktifitas perkebunan tebu, dan berbagai salah urus penyelenggaraan negara, termasuk ekonomi dan politiknya yang pada umumnya telah dirancang oleh lulusan perguruan tinggi patut menggugah masyarakat perguruan tinggi untuk mempertanyakan “apa yang salah dengan perguruan tinggi” setelah delapan puluh tahun tumbuh di Indonesia belum mampu mengembangkan IPTEK dan tenaga akademik/professional yang andal dalam pengelolaan dan penyelenggaraan negara merdeka secara efisien dan efektif.
2.      Penyesuaian struktur program kurikulum lembaga pendidikan
Perencanaan kurikulum pada tingkat ini adalah kegiatan yang sangat popular, artinya kegiatan pertama-tama dilakukan, kecuali pada periode tahun 1970an dalam upaya pembeharuan kurikulum yang sering menjadi sasaran kritik terhadap hasil kegiatan pada tahap ini adalah banyaknya jumlah mata pelajaran /mata kuliah, banyaknya jumlah jam per-minggu atau SKS per-semesternya. Namun demikian tidak jarang ada yang mempertanyakan mengapa sesuatu bidang kajian atau bidang kehidupan tidak dijadikan media pelajaran. Kiranya perlu kita akui bahwa kurikulum kita dari SD sampai Perguruan Tinggi terkenal sangat sarat muatan. Di SD dari kelas I s/d II 7 mata pelajaran dengan alokasi 30 jam pelajaran per minggu, sedangkan di Jerman dari kelas I s/d IV 6 mata pelajaran dengan alokasi waktu 27 jam. Di SD kelas IV s/d VI 10 mata pelajaran dengan alokasi waktu 42 jam di Jerman meliputi 9 mata pelajaran dengan alokasi waktu 30 jam. Di SLTP dari kelas I s/d III 12 mata pelajaran dengan alokasi saktu 42 jam. Di Jerman dari kelas IX sampai kelas X 10 mata pelajaran dengan alokasi waktu 31 jam pelajaran. Sedangkan di kelas XI-XII 8 mata pelajaran dengan alokasi waktu 30 jam pelajaran dan dikelas XIII 7 mata pelajaran dengan 27 jam pelajaran.
Di perguruan tinggi di tingkat S1 banyak mahasiswa yang menempuh SKS di atas 20 SKS per-semester sedangkan di Amerika Serikat (University of California) mahasiswa undergraduate hanya boleh mengambil 16 SKS kecuali mahasiswa dengan nilai semuanya A dengan persetujuan Dekan dapat mengambil lebih. Sedangkan pada tingkat Pasca Sarjana hanya boleh mengambil 12 SKS, sekitar 3 mata kuliah per-semester /quarter.
Pertanyaannya “Mengapa kurikulum Indonesia cenderung lebih sarat daripada umumnya kurikulum di negara yang maju?” Menurut hemat saya latar belakangnya adalah karena cara memandang para penentu kebijaksanaan tentang makna pendidikan sekolah dan peranan mata pelajaran. Sesungguhnya bila dicermati amanat pembukaan UUD 1945, fungsi pendidikan nasional yang dirumuskan dalam pasal 3, dan tujuan pendidikan nasional sebagai terumus dalam pasal 4 UU No. 4 tahun 1989 yang masing- masing berbunyi sebagai berikut.
“Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan nasional“ (pasal 3 UU No. 2 Tahun 1989), dan
“Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
            Demikian pula rumusan fungsi setiap jenjang pendidikan sebagian telah dikutip terdahulu, yaitu pasal 13 ayat (1), pasal 15 ayat (1) dan pasal 16 ayat (1), model kurikulum yang sarat muatan tidak relevan lagi dengan ketentuan UU maupun GBHN, apalagi amanat UUD 1945.
            Kurikulum kita tidak perlu sarat muatan karena itu adalah sah “legitimate” apabila penyusunan kurikulum mulai benar-benar berangkat dari pandangan tentang pendidikan sebagai pusat kebudayaan kemampuan, nilai, dan sikap dan mendudukan disiplin ilmu pengetahuan dan masa kehidupan sebagai wahana bagi terjadinya proses kebudayaan kemampuan (kemampuan intelektual, kemampuan moral dan kemampuan teknologi) nilai dan sikap (nilai moral keagamaan, moral polotik, moral sosial, moral kebangsaan, moral ekonomi) yang selama ini masih berada pada tarap cita-cita dan belum menjadi kenyataan.
Atas dasar pertimbangan dasar filosofi penyusunan kurikulum ini keberanian untuk mengurangi jumlah mata pelajaran – mata kuliah kuliah dan jumlah jam belajar setiap minggu perlu dilakukan. Tujuannya bukan untuk mengurangi beban belajar peserta didik melainkan agar peserta didik dapat menghayati proses pembelajaran sampai tahap memahami arti pengetahuan yang dipelajari dan fungsinya bagi kehidupan dan bagi proses belajar selanjutnya. Hanya melalui proses yang dimiliki peserta didik akan mampu memahami dirinya dan memahami manusia lain serta lingkungan secara berkeadaban, dengan mengadakan kaidah keilmuan dan moral keagamaan yang dalam perjalanan sejarah umat manusia telah terbukti mendukung terciptanya budaya perdamaian.
Untuk itu berbagai pendekatan pendidikan seperti empat pilar belajar untuk memasuki abad ke- 21 yaitu “learning to know”, “learning to do”, “learning to be”, “learning to live together” dari Delore dan tiga prinsip relevansi belajar seperti “epistemological relevance”, “psychological relevance” dan “moral and sosial relevance”, harus benar-benar diterapkan. Dan hanya dalam sistem kurikulum yang sarat muatan prinsip-prinsip pendidikan modern tersebut dapat diterapkan.
3.      Penyusunan Garis Besar Program Pengajaran
Berbagai gerakan pembaharuan pendidikan sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang belum ada yang berhasil sepenuhnya mengubah pengorganisasian kurikulum dari penggunaan disiplin sebagai sumber bahan ajar. Tidak lain karena salah satu fungsi pendidikan sekolah dalam mengembangkan dan melatih kemampuan dan disiplin berpikir. Dan ilmu pengetahuan adalah wujud dari suatu proses berpikir yang berdisiplin, karena itu penggunaan disiplin ilmu sebagai sumber bahan pelajaran pada hakikatnya upaya menerapkan paradigma ilmu pengetahuan dalam proses pendidikan karena itu pula mengapa sistem kurikulum di Indonesia sejak Indonesia merdeka mengenal kurikulum yang diorganisasikan dalam mata pelajaran atau bidang studi. Karena itu pula sistem kurikulum yang akan diperbaharui tidak perlu menolak para pengorganisasian yang sama. Yang menjadi masalah dalam (1) harus setiap mata pelajaran yang namanya menggunakan organisasi disiplin ilmu pengetahuan (Ekonomi, Sejarah, Biologi, dst.) secara berkesinambungan diikuti setiap peserta didik dari jenjang pendidikan yang satu ke jenjang pendidikan yang lainnya? (2) Haruskah setiap peserta didik dapat setiap jenjang menempuh mata pelajaran yang sama? Terhadap dua pertanyaan ini saya termasuk kelompok yang memandang tidak perlu setiap mata pelajaran menjadi mata ajar pada setiap jenjang dan juga tidak perlu setiap peserta didik pada suatu jenjang pendidikan mengikuti mata pelajaran yang sama.
Philip H. Phenix memandang disiplin ilmu pengetahuan sebagai objek belajar merupakan wilayah makna dan “ways of knowing” untuk memungkinkan manusia terdidik dapat memahami dunianya, lingkungan baik lingkungan budaya, lingkungan sosial, dan sesama manusia, termasuk dirinya dikategorikan dalam enam wilayah: (1) Wilayah Simbolik, termasuk bahasa dan Matematika; (2) Wilayah Empirik, meliputi IPA (physical science dan Biologi), Psikologi dan IPS; (3) Wilayah Estetika, meliputi musik, seni visual, seni gerak dan literatur; (4) Wilayah Synnetic, wilayah pengetahuan yang subyek t.f. atau dikenal pengetahuan sistensial; (5) Wilayah Etika, dan (6) Wilayah Sinoptik, meliputi Sejarah, Agama dan Filsafat. Memahami disiplin ilmu sebagai “realms of meaning” dan “ways of knowing” memungkinkan kita memiliki keberanian akademik profesional untuk menyederhanakan jumlah mata pelajaran persemesternya dan jumlah pokok bahasan per mata pelajaran pada setiap semester sepanjang mewakili enam wilayah makna, bukan dalam satu semesternya melainkan dalam satu jenjang pendidikannya. Tidak lain karena hakikat tiap wilayah sebagai “realm of meaning”, dan “ways of knowing” pada hakikatnya sama.
Kalau pada tingkat struktur program kita harus menghindari terlalu banyaknya jumlah mata pelajaran serta banyaknya alokasi jam pelajaran per minggunya. Pada tingkat penyusunan Garis Besar Program Pelajaran masalahnya adalah terlalu saratnya pokok bahasa untuk setiap matapelajaran pada setiap semester.
Pengurangan jumlah pokok bahasan untuk setiap mata pelajaran per-semester bukanlah dengan tujuan meringankan beban belajar peserta didik melainkan agar peserta didik dalam mempelajari suatu pokok bahasan dapat sampai kepada tingkat pemahaman yang mendalam sehingga memungkinkan terjadinya proses kebudayaan kemampuan yang dapat dialihkan untuk belajar lebih lanjut dan untuk dapat dipraktikkan dalam kehidupan dimasyarakat. Melalui kesempatan mempelajari tidak terlalu banyak pokok bahasan empat pilar belajar (learning to know, learning to do, learning to be, learning live together) dan terlaksananya tiga prinsip relevansi  (relevansi epistemologi, relevan psikologis, relevan sosial dan moral) dapat diterapkan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memilih pokok bahasan yang terbatas dari sumber disiplin ilmu atau wilayah kehidupan yang “body of knowledge-nya” hampir tidak terbatas. Untuk itu diajukan kriteria pemilih sebagai berikut.
1.      Esensial, artinya suatu konsep atau pokok bahasan atau teori penting untuk dipelajari oleh peserta didik bagi kepentingan belajar selanjutnya.
2.      Fundamental, arti suatu konsep atau teori atau pokok bahasan mewakili hakikat suatu disiplin ilmu sebagai “ways of knowing” yang memiliki dampak bahwa dengan menguasai suatu konsep peserta didik bidang ilmu tersebut dengan lebih termotivasi/lebih mudah.
3.      Feasible, bahwa suatu teori, konsep atau pokok bahasan lainnya secara psikologis dapat dipelajari oleh peserta didik pada suatu tingkatan usia.
4.      Strategis, bahwa suatu teori, konsep atau pokok bahasan hanya secara logis, dan psikologis perlu dipelajari pada suatu penggolongan urutan sajian mata pelajaran.
5.      Ekonomis, bahwa suatu pokok bahasan (teori, konsep, episode, memiliki nilai ganda sebagai objek belajar dipandang dari sudut kepentingan terlaksananya empat pilar belajar dan tiga prinsip relevan serta mewakili suatu “ways of knowing”
Dengan benar-benar mencermati lima criteria yang diajukan diharapkan kurikulum yang ramping, kenyal dan berbobot dapat kita hasilkan.

Karakteristik, sistem evaluasi, dan infastruktur yang diperlukan untuk menunjang terlaksananya kurikulum yang relevan dengan fungsi pembudayaan lembaga pendidikan
1.    Karakteristik kurikulum yang relevan
Dari uraian dan analisis tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sampai sekarang belum dapat rumusan yang jelas tentang jenis kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dikuasai oleh lulusan suatu jenjang dan jenis pendidikan yang dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai berhasil tidaknya suatu lembaga pendidikan melaksanakan fungsi institusionalnya. Akibatnya kritik tentang tinggi rendahnya mutu pendidikan sering hanya dilihat dari jumlah lulusan dan nilai hasil belajar lulusan tanpa dilihat kemampuan dan sikap orang lulusan sebagai yang diharapkan oleh masyarakat. Karena itu pula tampaknya keterpurukan kehidupan berbangsa dan bernegara pada kualitas pendidikan dan kehidupan selanjutnya para elit politik terutama sejak Orde Baru belum pernah dengan sungguh-sungguh memberikan perhatian khusus pada upaya perbaikan mutu pendidikan sebagai penentu masa depan bangsa.
Pada tingkat struktur program penetapan jumlah dan pembandingan antara mata pelajaran dalam suatu jenis dan jenjang pendidikan perlu berangkat dari perhitungan perkiraan sumbangan masing-masing mata pelajaran sebagai wilayah makna dan “ways of knowing” terhadap pencapaian tujuan institusional yang terurai. Sehingga secara integral dan sinergik terarah kepada pencapaian tujuan kelembagaan satu jenis dan jenjang pendidikan. Pada tingkat ini garis besar program pengajaran, berangkat dari pandangan bahwa yang utama adalah dapat terlangsungnya proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat secara mendalam memahami dan menghayati mata pelajaran yang dipelajari baik berupa konsep, teori, atau generalisasi, pokok-pokok bahasan yang dipilih benar-benar esensial, fundamental, fungsional dan feasible untuk dipelajari, GBPP semacam ini memungkinkan dapat berlangsungnya proses belajar sebagai proses sosialisasi dan pembudayaan berbagai kemampuan dan sikap karena berbagai pilar belajar secara intensif ditingkatkan.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebuah kurikulum yang relevan dengan fungsi lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan seharusnya memenuhi karakteristik berikut.
a.         Memiliki rumusan tujuan pendidikan pada tingkat kelembagaan yang menggambarkan secara jelas dan dapat diukur kemampuan, sikap, pengetahuan dan keterampilan dari setiap peserta didik yang dinyatakan lulus, sehingga dapat dijadikan tolak ukur atau landasan bagi standar mata lulusan.
b.         Memiliki struktur program kurikulum yang tidak terlalu sarat muatan yang secara keseluruhan dan secara fungsional sungguh dalam menunjang tercapainya tujuan pendidikan baik pada tingkat institusional maupun nasional.
c.         Garis Besar Program Pengajaran bermuatan pokok bahasan (teori, konsep, generalisasi, hukum dan/atau wilayah kehidupan) yang esensial, fundamental dan fungsional bagi dapat terjadinya proses pembelajaran yang intensif dan mendalam dengan menerapkan berbagai pilar belajar dan asas relevansi proses belajar sehingga dapat menjadi proses pembudayaan  kemampuan, nilai dan sikap.
2.    Sistem evaluasi yang relevan
Dilihat dari paedagogik dan teori belajar (sosial learning theory) proses pembelajaran sebagai proses pendidikan yang bermaknya membudayakan kemampuan nilai dan sikap hukum “reward” dan “punistment” merupakan hukum besi yang tidak dapat ditinggalkan karena tujuan pendidikan pengembangan kepribadian peserta didik harus dicapai. Dalam kaitan dengan ini kedudukan “sistem evaluasi” sebagai alat pendidikan atau sarana dari “reinforcement strategy” sangat esensial. Saya berpendapat bahwa betapapun sempurnanya suatu kurikulum kalau tidak didukung oleh suatu sistem evaluasi yang relevan dengan tujuan pendidikan sukar diharapkan bahwa kurikulum tersebut akan dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Atas dasar itu pula mengapa saya sejak tahun 1981, setelah menyelesaikan disentrasi, tidak menyetujui ujian nasional (EBTANAS) seperti yang sekarang ini berlaku. Tidak lain karena EBTANAS yang selama ini berlaku tidak berfungsi atau tidak difungsikan sebagai bagian dari “reinforcement strategy” atau alat pendidik. Buktinya betapapun hasil EBTANAS sebagian besar lulus. EBTANAS juga belum atau tidak difungsikan sebagai alat diagnostik. Buktinya bagaimana rendahnya hasil EBTANAS tidak ada tindak lanjut untuk memperbaiki. EBTANAS juga belum atau tidak difungsikan sebagai bagian dari modal pengolahan manusia yaitu dengan menggunakan hasil EBTANAS sebagai titik berangkat “development” guru, penataran guru, dan pengadaan alat-alat dan fasilitas pendidikan. Di samping itu EBTANAS hanya menyusun sebagian dari tujuan pendidikan hasil yang harus dicapai.
Sistem evaluasi yang relevan dengan terlaksananya kurikulum yang memenuhi sistem harus memenuhi persyaratan berikut. (1) komprehensif, meliputi seluruh dimensi tujuan pendidikan, baik pengetahuan, keterampilan, kemampuan, perilaku dan sikap; (2) Terus menerus baik selama berlangsungnya  proses belajar partisipasi, kesungguhan, ketelitian dan kemandirian) hasil belajar pada setiap penggal program (harian, mingguan, bulanan, semester), perilaku dan disiplin belajar. Hanya melalui proses evaluasi yang terus menerus fungsi lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan akan dapat berhasil. Melalui proses evaluasi, sifat-sifat kepribadian seperti etos kerja, kemandirian, disiplin, kejujuran, kerjasama, ketelitian, sikap ilmiah, serta berbagai nilai moral dan etika dapat ditumbuhkembangkan. Karena itu pula saya berpendapat bahwa setiap mata pelajaran berpotensi menjadi wahana untuk mencapai tujuan pendidikan. Termasuk kejujuran, kesungguhan ketelitian dan nilai-nilai moral lainnya. Dan saya tidak percaya bahwa adanya pelajaran budi merupakan sarana untuk menghasilkan manusia yang berbudi luhur; (3) Objektif, ukuran bagi setiap evaluasi harus jelas dan ajeg. Jangan suatu ganjaran diberikan kepada si A tetapi tidak kepada B padahal hasil belajar mereka sama. Sekali objektifitas dilanggar atau tidak dijunjung pada saat itu kedudukan evaluasi sebagai alat pendidikan tidak akan berarti.
3.    Infrastruktur pendukung yang diperlukan
Suatu kurikulum yang memenuhi syarat sebagai digambarkan dalam bagian tersebut di atas yang didukung dengan sistem evaluasi yang relevan tidak dengan sendirinya dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif tanda adanya dukungan sarana dan prasarana pendidikan, serta tenaga guru dan tenaga kependidikan lainnya, seperti keadaan sekolah, pengawas, konselor, dan psikolog sekolah.
Sukar dibayangkan suatu proses pembelajaran dapat belajar secara intensif bila tidak tersedia bacaan, tidak tersedia laboratorium atau kebun botani, dengan rasio guru dan murid di atas 1:20-25. suatu proses pembelajaran sukar dapat belajar bila peserta didik tidak menghayati kesempatan berkreasi dan berekspresi. Dan suatu proses belajar sebagai proses pembudayaan dan sosialisasi sukar dapat berjalan bila hubungan guru dan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik, dan peserta didik dengan bahan ajar hanya terbatas pada pertemuan kelas yang dipenuhi oleh peserta di atas 25 orang. Dan kesempatan berkreasi baik fisik, intelektual, maupun artistik yang merupakan kebutuhan dasar psikologis generasi muda sukar diperoleh bila sekolah hanya sekedar ruang kelas, tanpa lapangan olah raga, laboratorium, dan kebun botani.
Atas dasar itu suatu kurikulum yang memenuhi syarat dan didukung oleh sistem evaluasi yang relevan bila setiap lembaga pendidikan dilengkapi dengan: (1) Tenaga guru dan tenaga pendidikan lainnya yang dapat bekerja sepenuhnya di suatu sekolah dengan ruang kerja dan fasilitas buku yang lengkap dan jaminan kesejahteraan yang memungkinkan dirinya tidak perlu mencari penghasilan ditempat lain, termasuk di sekolah lain; (2) lembaga pendidikan yang dilengkapi tidak hanya ruang kelas tetapi perpustakaan yang lengkap, lapangan olahraga, kebun biologi, ruang musik dan ruang olahraga semua hanya suatu ruang kerja guru dan tenaga kependidikan lainnya; (3) dana pendidikan yang memungkinkan kepada sekolah yang melaksanakan “school based quality improvement”. Untuk itu setiap sekolah perlu didukung oleh Dewan Pendidikan yang bukan hanya perwakilan orang tua siswa melainkan meliputi tokoh masyarakat yang mempu memobilisasi dana untuk mendukung sekolah yang bermutu.
Uraian pada bagian ini pasti akan mendudukkan saya sebagai “utopian”. Tetapi saya berpendapat bahwa bila gambaran ini tidak kita sampaikan setiap kali kita akan lelah menjawab pertanyaan “untuk apa dana pendidikan dinaikkan?” karena kalau pendidikan dikelola seperti sekarang ini sukar kita dapat menjamin bahwa pendidikan dapat menunjang upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kebudayaan nasional, dan membangun peradaban negara bangsa Indonesia.

Kesimpulan dan saran
1.      Bahwa sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa memajukan kebudayaan nasional dan membangun peradaban Negara bangsa, lembaga pendidikan Indonesia harus diberdayakan sebagai pusat perbudayaan kemampuan nilai dan sikap.
2.      Bahwa lembaga pendidikan, khususnya sekolah sejak Orde Baru pada saat tekanan utama diberikan kepada pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan tanpa dukungan dana dan fasilitas yang memadai, belum dapat berfungsi sebagai pusat pembudayaan.
3.      Bahwa agar lembaga pendidikan dapat berperan sebagai pusat pembudayaan perlu direncanakan dan  disusun kurikulum sebagai arahan dan rencana strategi yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang bermakna sebagai proses pembudayaan kemampuan, nilai, dan sikap.
4.      Bahwa kurukulum yang dapat menunjang berfungsinya lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan harus memenuhi persyaratan berikut.
a.       Memiliki tujuan pendidikan tingkat institusional yang menggambarkan secara jelas dan terukur kemampuan, sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai oleh lulusan suatu jenis dan jenjang pendidikan yang bermanfaat bagi tugas perkembangannya.
b.      Memiliki struktur program yang tidak sarat muatan dan secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang fungsional dan sinergik bagi tercapainya tujuan pendidikan baik tingkat institusional maupun nasional.
c.       Memiliki Garis Besar Program Pengajaran yang memuat pokok-pokok bahasan yang esensial, fundamental, dan fungsional sebagai obyek belajara yang memungkinkan peserta didik mengalami dan menghayati proses belajar yang bermakna bagi pengembangan dirinya secara intelektual, emosional, moral, dan spiritual melalui berbagai bentuk proses belajar yang memenuhi persyaratan empat pilar belajar (learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together) serta prinsip relevansi (relevansi epistemologi, relevansi psikologis, dan relevansi sosial dan moral).
d.      Kurikulum yang memenuhi persyaratan hanya dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif bila didukung oleh sistem evaluasi yang terus menerus, komprehensif dan objektif, serta sarana dan prasarana serta tenaga kependidikan yang memenuhi syarat standar profesional bagi dapat terlaksananya program pendidikan yang bermutu
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar